Oleh: DR. H. AW Evendi Anwar, M.Ag
Dosen
Pascasarjana Unsuri & Penyuluh Ahli Madya Sidoarjo
Fenomena
"selingkuh" akhir-akhir ini semakin marak selaras dengan kasus heboh
perselingkuhan antara YZ dengan ME. Namun isu perselingkuhan itu meredup ketika
Aa' Gym berpoligami, bahkan poligami sempat menggemparkan istana kepresidenan
karena banyaknya SMS yang masuk ke HP Presiden, sehingga Presiden meminta
aturan poligami yang selama ini hanya untuk PNS dan anggota TNI/ Polri
diperluas cakupannya. Karena itu PP no 10/1983 yang mengatur poligami, yang
telah direvisi menjadi PP No 45/1990 diminta untuk kembali direvisi. Permintaan
itu disampaikan kepada menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, dalam
pertemuan di kantor Presiden, Selasa (5/12). Pro kontra pun muncul, yang sempat
menghiasi berbagai media massa
di Republik ini, baik cetak maupun elektronik. Bahkan seakan poligami lebih
tabu dibandingkan dengan selingkuh.
Namun, bagaimanakah "perselingkuhan"
dan "poligami" itu dalam perspektif Islam? Tulisan ini diharapkan menjadi perimbangan terhadap
maraknya isu fenomena perselingkuhan dan minornya tanggapan masyarakat terhadap
poligami.
Pandangan
Islam tentang "Selingkuh"
Berkaitan dengan
selingkuh susila atau perbuatan asusila, orang berselingkuh dapat terjadi karena beberapa
sebab kemungkinan. Mungkin karena sekedar iseng untuk mencari vareasi seks,
karena bosan makan sayur lodeh sekali-kali cari sayur asem atau sayur lain
sehingga kebablasan menjadi kebiasaan suka jajan walaupun di rumah ada yang
halal dan dijamin keamanannya dunia akhirat. Mungkin juga karena jenuh dengan permainan seks yang kering atau
mungkin karena tidak puas atau terpuaskan oleh pasangan sahnya sehingga mencari
kepuasan sendiri di luar jalan yang benar (berselingkuh). Mungkin pula hanya
sekedar mencari sensasi, popularitas, promosi karier, mencari tambahan materi,
atau kedudukan tertentu sehingga terpaksa atau suka sama suka melacurkan diri
dalam perselingkuhan. Atau, bahkan mungkin karena kebutuhan biologis sama
sekali tidak dapat tersalurkan pada pasangan sahnya karena mungkin pasangannya
itu disfungsi ereksi atau berhalangan tetap untuk layanan kebutuhan biologis, namun
mereka masih menginginkan keutuhan rumah tangganya, sehingga mencari penyalurannya
pada orang lain--sopir pribadinya, rekan kerja, pelacur, TTM atau lainnya--walaupun
jalannya salah.
Fenomena di atas
seakan seperti sesuatu yang wajar dan bukan sesuatu yang
tabu lagi sehingga ketika pelaku selingkuh diwawancarai wartawan nampak tanpa beban. Sebagai contoh, ME malah road show dari stasiun TV satu
ke stasiun lain, dari media satu ke media lain dengan tertawa. Bahkan pelaku selingkuh yang berinisial SH
dengan mantan narapidana TM begitu tanpa beban mencari status anak
selingkuhannya agar TM mengakui itu anak kandungnya, padahal ketikan anak itu
lahir status SH masih menjadi istri sah SJ. Dan masih banyak contoh lain.
Pertanda apakah semua itu? Padahal zina
adalah zina, apa pun alasannya Allah tetap melaknat pelakunya. Jangankan
berzina dekat saja Allah melarangnya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Isra':
32, yaitu:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk"
Bahkan Allah
menempatkan perbuatan zina sebagai salah satu perbuatan dosa besar, dan Nabi
Muhammad SAW memasukannya dalam jinayat atau tindak pidanan dengan
hukuman yang berat, bagi yang bersuami atau beristri hukumannya adalah rajam
(dikubur sebesar pusat dan dilempari batu sebesar ibu jari sampai meninggal.
Dan, bagi bujangan dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun (QS.
An-Nur: 2). Semua itu tujuannya bukan untuk menyengsarakan
manusia tetapi membimbing manusia agar manusia memelihara fitrah kesuciannya dan
kesucian keturunannya.
Namun,
ketika manusia berusaha melanggarnya, vareasi hukuman pun siap menanti. Di
antaranya, bila dia politikus mungkin kariernya akan runtuh, bila dia seorang
hartawan mungkin hartanya akan habis, bila dia seorang yang cantik tubuhnya
mungkin menjadi layu, dan banyak kemungkinan yang lain. Bahkan, bila hamil status
anaknya menjadi tidak jelas dan tidak punya wali nikah nasab. Belum lagi dengan
ancaman penyakit menular seks (PMS), berdasarkan estimasi ahli kesehatan satu di antara empat puluh pelaku zina atau
jajan dapat terancam tertular virus HIV/
AIDS. Bila pezina itu telah terkena virus HIV/ AIDS, petaka bukan hanya menimpa
dirinya saja tetapi juga akan menimpa pasangan dan anaknya, karena virus HIV/
AIDS sangat halus dan samar penampakannya. Itu semua baru hukuman Allah di
dunia belum hukuman di akhirat. Di mana dijelaskan dalam beberapa keterangan
bahwa hukuman pezina akan dibakar api dan ditusuk kelaminnya dengan besi neraka,
panas api neraka jahannam sembilan puluh sembilan kali dari panas api di
dunia (HR. Muttafaq Alaih).
Pandangan Islam tentang "Poligami"
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
"Poligami" berarti "seseorang yang mengambil pasangan lawan
jenis lebih dari seorang". Sementara itu di dalam al-Qur'an Surah al-Nisa'
ayat 3 Allah SWT berfirman:
"NIkahi lah oleh
kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan
tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berbuat adil, maka nikah lah satu
saja (QS. 4: 3).
Berkenaan dengan ayat di atas, ada beberapa hal yang
perlu dipahami. Pertama, ayat itu diturunkan kepada Nabi SAW pada
tahun kedelapan hijrah, yaitu untuk membatasi jumlah istri maksimal empat saja.
sebelum ayat itu diturunkan jumlah istri yang dikoleksi bangsa Arab sampai
belasan orang. Ayat itu juga memerintahkan bagi seorang suami yang berpoligami
berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian ayat itu lebih
menganjurkan satu istri jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil.
Kedua, perlu digarisbawahi bahwa keadilan bukan lah syarat kebolehan
untuk berpoligami. Hukum ini wajib bagi seorang suami yang berpoligami, di
samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu istri saja.
syarat itu harus dipenuhi sebelum peebuatan yang dipersyaratkan itu dikerjakan.
Realitas syarat semacam itu tentu tidak tepat jika dikaitkan dengan sifat adil
suami yang ingin berpoligami. Karena perlakuan dan rasa adil itu baru dapat
dilakukan setelah pernikahan? Ketiga, pengertian adil dalam ayat
di atas berbentuk umum, yaitu mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi kata
yang bersifat umum itu kemudian diperlakukan secara khusus (ditakhsis),
bahwa keadlian itu dalam batas-batas kemampuan manusia sebagaimana keterangan
dalam ayat yang lain di atas:
"Kalian sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kalian sangat
ingin berbuat adil. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung" (QS. 4: 129).
Atas
dasar itu lah, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap
seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, yaitu dalam hal
bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain; bukan
dalam masalah cinta dan kasih sayang yang memang berada di luar kemampuan
manusia serta bersifat subyektif dan relatif.
Sementara
itu, realitas praktik poligami sering memicu berbagai kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Hal itu sama sekali tidak dapat dijadikan alasan kontra poligami,
karena realitas praktek poligami tidak dijalankan sesuai dengan syariat Islam.
Solusinya bukan lah anti-poligami tetapi meluruskan kesalahan pelaku poligami.
Lagi pula, jika disurvey kekerasan dalam rumah tangga justru lebih banyak dalam
perkawinan monogami. Sebabnya sama yaitu rumah tangga tidak dijalankan sesuai
dengan UU yang telah ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
Alasan
lainnya, bahwa wanita menjadi sakit hati karena tertekan Karena suaminya
menikah lagi, juga dapat diperdebatkan. Pertama, hal itu sering
karena yang diperhatikan istri yang lain sehingga yang lain merasa tidak
terlindungi. Kedua, perasaan tersebut hanya akan muncul akibat
anggapan bahwa poligami sebagai sesuatu yang buruk. Sebaliknya, jika istri
menganggap bahwa poligami itu sebagai sesuatu yang yang baik, maka perasaan sakit hati dan tertekan
tidak akan terjadi. Bahkan jika istri memahami poligami sebagai tindakan mulia,
mungkin istri akan sukarela mencarikan istri lagi untuk suaminya, sebagai
contoh istri KH. Makhfudz Pacet.
Dengan
demikian Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang
disunahkan, tetapi hanya menjadikan sebagai sesuatu yang mubah, yaitu boleh
jika dipandang perlu. Bahkan tidak seorang Sahabat pun yang menentang kebolehan
poligami. Karena poligami merupakan hukum syari'ah yang tercantum dalam
al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW, sehingga secara jelas penentangnya pun orang
yang menentang hukum Allah SWT.
Pilih, Selingkuh atau Poligami?
Hakikat hidup dan kehidupan manusia adalah, bahwa setiap
manusia mempunyai hak reproduksi. Dan, hak reproduksi itu berlaku bagi siapa
pun tanpa kecuali. Namun pada realitasnya, jumlah penduduk bumi antara
laki-laki dan perempuan, lebih banyak perempuan. Sementara itu, tidak semua
laki-laki dapat berkompeten menjadi suami yang baik, bahkan tidak sedikit
laki-laki yang jeles kualitasnya. Jika tuntutannya adalah satu laki-laki dengan
satu perempuan, maka siapa yang memberi hak reproduksi bagi perempuan sisanya.
Tentu akibatnya semakin banyak wanita jalang atau wanita yang melacurkan diri
sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Tentu juga semakin banyak free
seks atau kebebasan seks ala Barat, yang semuanya dapat dilakukan atas
dasar suka sama suka tanpa ada ikatan yang sah, bahkan banyak di antara orang
Barat yang baru berpikir membangun biduk rumah tangga dengan institusi
perkawinan yang sah setelah mempunyai satu dua anak.
Atau dengan
alasan kesetaraan gender, jika laki-laki boleh poligami, harus juga dong..! dibolehkan
bagi wanita poliandri. Jika demikian yang digaungkan oleh Pembesar Negeri ini,
maka semakin kacau lah tatanan dunia ini. Padahal jika ada pembesar yang
mengambil keputusan yang salah, maka adzab yang Allah berikan semakin pedih.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ahzab: 67 – 68, yaitu:
Dan mereka berkata;:"Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan
kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua
kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar."
Apakah
itu yang diharapkan di Republik tercinta ini? Tentu sebagai Negara yang
mayoritas penduduknya muslim, jawabannya adalah tidak. Zina tetap zina. Apa pun
bentuk perselingkuhan adalah bagian dari perzinaan. Tidak ada satu ayat pun
dari al-Qur'an atau potongan Hadits yang melegalkan zina. Dan sudah saatnya
seluruh komponen bangsa Indonesia ini berintrospeksi diri dengan banyaknya
musibah dan bencana yang menimpa negeri ini, yang semua itu mungkin itu
adalah adzab atau peringatan Allah
kepada bangsa Indonesia agar kembali ke jalan-Nya, yang pada kenyataannya
perselingkuhan seakan sudah menjadi budaya negeri ini. Maraknya bisnis
esek-esek, banyaknya kasus perzinaan yang dilakukan elit politik, bahkan tidak
sedikit di antara legislator yang tewas dipelukan pelacur ketika berkencan.
Termasuk juga perselingkuhan ekonomi, perselingkuhan hukum dan perselingkuhan
politik juga termasuk hal yang menyebabkan Allah murka.
Begitu
pula, jikalau kebutuhan biologisnya tidak terpenuhi, maka pilihannya bukan lah
selingkuh atau pun melakukan perzinaan, tetapi tetap membangun komitmen
kesetiaan pada pasangannya masing-masing. Namun jika tidak mampu maka
keputusannya adalah bukan lah zina, tetapi membangun jalan yang halal melalui
pernikahan. Jika dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit antara
mempertahankan suami atau istri yang tidak memenuhi kebutuhan biologis dengan
selingkuh atau zina. Maka jawaban yang tepat menurut penulis, adalah bercerai
kemudian menikah dengan jalan yang halal. Itupun bila bahtera rumah tangganya
sudah tidak dapat dipertahankan lagi karena khawatir berbuat dosa. Karena hidup
manusia di dunia ini hanya lah sementara, hidup ini bukan untuk seks atau
selingkuh, tetapi seks adalah bagian dari hidup dan kehidupan manusia. Dan,
Allah memberi hidup manusia hanya lah agar digunakan untuk mengabdi kepada-Nya.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !